Long weekend kemarin, saat saya dan seorang teman sedang asik ngobrol membahas masa depan di sebuah resto sembari menikmati hidangan, tiba-tiba entah dari mana datangnya, seorang SPG menampakkan diri tepat di sebelah meja kami. Dengan produk yang tidak tepat, waktu yang tidak tepat, dan situasi yang tidak tepat *hattrick*, beliau menjelaskan panjang, lebar, dan tinggi tentang produknya. Yak, saya ucapkan selamat kepada SPG tersebut karena telah berhasil mengganggu waktu berkualitas saya, yang mau-tidak mau harus saya hadapi sebagai salah satu bentuk cobaan hidup.
Mungkin Anda juga pernah mengalami hal serupa dengan yang saya alami itu, diinterupsi oleh seseorang atau sesuatu, entah itu SPG/sales person, telepon dari tele marketer atau SMS KTA yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan keinginan dan kebutuhan Anda. Dan celakanya, aksi interupsi tersebut juga merambah ranah daring (online) umumnya, dan media sosial khususnya.
Media sosial sebagai wadah bersosialisasi, pada intinya tidak jauh berbeda dengan restoran/cafe, sekolah, kantor dan berbagai tempat lainnya di mana kita beraktivitas dan bersosialisasi bersama teman, rekan kerja atau saudara. Tetapi internet dan teknologi web 2.0 telah menjadikan media sosial sebagai wadah bersosialisasi yang hampir dapat dikatakan tidak dibatasi lagi oleh ruang dan waktu. Dengan demikian maka interupsi yang terjadi di media sosial pun juga hampir dapat dikatakan tidak lagi mengenal ruang dan waktu.
Komentar spam, out of topic post (OOT), photo tagging abuse, trending topic abuse dan berbagai kegiatan interupsi lainnya yang menggangu di media sosial, hampir dapat dikatakan sebagian besar dilatarbelakangi oleh motivasi bisnis (baca: jualan). Dan yang lebih memprihatinkan, kegiatan tersebut tidak hanya dilakukan oleh pelaku usaha kecil-menengah, tetapi juga dilakukan oleh perusahaan besar sekalipun. Media sosial sering kali diidentikan dengan "tempat iklan dan promosi gratis", sehingga pendekatan interupsi / outbound marketing semakin marak di media sosial. Para marketer sering lupa bahwa sesungguhnya para pengguna media sosial telah dibekali senjata untuk melindungi diri (bahkan melakukan serangan balik) dari serbuan interupsi pada media sosial. Block, ban, report as spam, unfollow, unfriend, unlike merupakan pertahanan terakhir untuk membela hak-hak privasi dan kenyamanan dalam menggunakan media sosial.
Pemanfaatan sosial media dengan pola pikir yang tidak tepat (konvensional), menimbulkan banyak masalah dan ketidaknyamanan. Mulai dari sekedar cibiran, kecaman, rusaknya reputasi, bahkan sampai dengan sanksi sosial. Sebelum penguasaan berbagai hal teknis tentang pemanfaatan media sosial, mindset dan jiwa media sosial merupakan hal yang harus dipahami dan diadopsi sejak awal.
Social media is a mindset not a toolset.
Perkembangan teknologi internet dan penetrasinya yang kian pesat di tengah masyarakat pada lima tahun terakhir, telah mengubah tatanan pola interaksi, ekonomi, sosial dan budaya. Tembok hirarki dan sekat-sekat distribusi informasi yang dahulu kokoh berdiri congkak, sekarang mulai runtuh dan memudar. "Dunia telah menjadi datar", semangat egaliter dan kesetaraan kian hari kian kental terasa. "In social media, we are the media". Saat ini hampir dapat dikatakan setiap orang yang dapat mengakses internet, memiliki kesempatan yang sama untuk menyiarkan informasi yang ia ingin publik mengetahuinya. Pun sebaliknya, seseorang juga memiliki kontrol penuh tentang informasi apa saja yang mau atau tidak mau ia konsumsi.
Dahulu saat tidak tersedia banyak pilihan, hanya pemilik modal besar dan pemegang tangkup kekuasaan sajalah yang memiliki kontrol terhadap informasi yang bersifat satu arah (media massa konvensional), tetapi sekarang, di media sosial, mereka berdiri sejajar bersama bisnis kecil dan rakyat jelata lainnya di tengah riuh-rendah komunikasi dua arah. Dengan demikian, pada media sosial pendekatan interupsi / outbound marketing semakin tidak relevan dan tidak efektif lagi, tergantikan oleh pendekatan permission / inbound marketing yang pada akhirnya semakin memanusiakan manusia.
Saya pribadi masih berpendapat tujuan utama yang harus dimiliki sebuah brand ketika memutuskan untuk terjun ke dalam media sosial adalah untuk membangun keakraban dan hubungan jangka panjang, bukan sekedar jualan atau "promosi dan iklan gratis" semata. Di media sosial sebuah brand tidak ubahnya seperti "seorang teman", berdiri sejajar dengan pelanggan. Saat berinteraksi dalam media sosial, saya sangat suka dengan teman yang gemar berbagi informasi dan pengetahuan yang relevan dan bermanfaat, teman yang responsif dan luwes dalam bersosialisasi, teman yang mengakui kesalahan dan meminta maaf bila bersalah, sehingga membuat saya lebih dapat memakluminya dan bahkan menaruh hormat padanya. Bila ada teman yang seperti tersebut suatu ketika menawarkan susuatu pada saya, saya akan dengan senang hati mendengarkan tawarannya, dan bila sesuai dengan kebutuhan dan keinginan, maka saya akan menerima tawaran tersebut. Sebaliknya, saya sangat enggan dengan teman yang selalu menyebut-nyebut kebaikannya sendiri, gemar memuji-muji diri sendiri, terus-menerus hanya berbicara tentang dirinya tanpa mau mendengar, berkilah ketika sudah jelas-jelas salah, menginterupsi dengan berbagai hal yang tidak relevan, dan hanya baik serta menyapa ketika ada maunya saja. Tidak jauh berbeda dengan sebuah brand. Media sosial sebuah brand yang tidak hanya "jualan", tetapi juga berbagi informasi berguna dan relevan, luwes dalam berinteraksi, terbuka terhadap kritik dan merespon keluhan, akan lebih disukai oleh pelanggan serta fans/followernya, yang kemungkinan besar akan direkomendasikan oleh fans/followernya tersebut pada teman-teman di jejaring mereka.
Sometimes it's good to be small
Media sosial merupakan konsep baru yang masih berkembang sampai saat ini. Tak heran masih banyak pihak yang belum menangkap esensi media sosial karena masih menggunakan mindset dan konteks budaya konvensional dalam mencernanya. Mengubah mindset bukanlah pekerjaan mudah, banyak resistansi yang akan timbul, terutama dari orang-orang (lama) yang merasa sudah mapan dengan apa yang mereka ketahui selama ini. Begitu pula dengan merubah budaya, perusahaan-perusahaan besar dengan segala protokoler dan birokrasi, ditambah lagi dengan budaya otoriter, akan sangat kesulitan dan membutuhkan waktu lama dalam mengadopsi mindset dan budaya media sosial. Tidak dalam hitungan bulan, tetapi hitungan tahun, waktu yang diperlukan beberapa institusi besar untuk menyesuaikan diri dengan mindset dan budaya sosial media. Di sinilah letak keunggulan usaha kecil-menengah bila dibanding dengan perusahaan-persuhaan besar dalam mengadopsi mindset media sosial.
Fleksibilitas dalam mengadopsi sesuatu yang baru, respon yang cepat (tidak terbelit protokoler dan birokrasi), perhatian personal dan rasa memiliki yang intens, kreativitas yang lebih dinamis, kedekatan dengan komunitas adalah faktor-faktor keunggulan usaha kecil yang seharusnya dapat menjadikan usaha kecil-menengah lebih unggul di media sosial. Sudah banyak contoh nyata usaha kecil-menengah yang dengan baik mengadopsi mindset dan menerapkan budaya media sosial, yang akhirnya sukses menjadi besar, di antaranya adalah Keripik Ma Icih dan Holycow! Steakhouse.
Media sosial adalah tren global yang telah diprediksi keberadaannya pada akhir 90-an dan mulai menjadi perhatian pada 2-3 tahun terakhir. Hampir dapat dikatakan mau-tidak mau, perusahaan besar sampai usaha kecil-menengah harus terjun ke dalam (atau setidaknya memantau) media sosial, terutama usaha yang bersinggungan langsung dengan konsumen akhir. Hal utama yang harus dipahami sebelum sebuah institusi perusahaan, dalam skala apapun, memutuskan untuk terjun ke dalam media sosial adalah tentang mindset dan budaya media sosial.
Media sosial masih akan terus berkembang. Peran komunitas, industri, dan akademisi masih sangat diperlukan untuk merumuskan pemanfaatan media sosial yang optimal dan menguntungkan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Langkah Prasetiya Mulya Business School yang memberi perhatian khusus terhadap perkembangan media sosial patut mendapat apresiasi dan dukungan. Semoga ke depannya tidak ada lagi bisnis, baik besar maupun kecil, yang berniat terjun ke media sosial dengan hanya bermotivasikan "biar bisa promosi dan ngiklan gratis" :p
Bila ada pertanyaan atau pendapat lain tentang mindset dan budaya pemanfaatan media sosial serta bagaimana media sosial sebaiknya digunakan, yuk kita diskusikan di kolom komentar :)