(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Berhubung ibunda tercinta sedang pulang kampuang nan jauah di mato, maka pekan ini saya harus berbelanja mingguan sendirian saja di bilangan Sudirman [heleh pasar becek Ben-Hil aja pake ngomong bilangan Sudirman segala!] (he..he.. tapi betul dong). Dengan demikian pada post kali ini saya hanya memuat tulisan orang lain yang menurut saya gaya tulisannya cukup menyentil dan menghibur.
Selain itu, saya juga ingin menyampaikan permohoman maaf kepada seorang kawan lama yang menanyakan tentang berbagai aliran sesat yang sedang in belakangan ini. Maaf karena saya tidak berminat untuk bersaing dengan mainstream media yang juga sedang ramai-ramainnya membahas masalah tersebut. Tetapi tenang saja, tema post kali juga masih berkisar pada masalah tersebut koq, malahan saya pikir bila tidak hati-hati bahaya yang dikandungnya dapat lebih menyesatkan karena posisinya yang berada pada "gray area" sehingga sikap tegas relatif lebih sulit untuk diambil. Dan pada post kali ini saya juga ingin menyampaikan kira-kira dimana saya peribadi menempatkan diri (mohon doanya semoga saya tidak patut diberi label HALAL).
Berhubung ibunda tercinta sedang pulang kampuang nan jauah di mato, maka pekan ini saya harus berbelanja mingguan sendirian saja di bilangan Sudirman [heleh pasar becek Ben-Hil aja pake ngomong bilangan Sudirman segala!] (he..he.. tapi betul dong). Dengan demikian pada post kali ini saya hanya memuat tulisan orang lain yang menurut saya gaya tulisannya cukup menyentil dan menghibur.
Selain itu, saya juga ingin menyampaikan permohoman maaf kepada seorang kawan lama yang menanyakan tentang berbagai aliran sesat yang sedang in belakangan ini. Maaf karena saya tidak berminat untuk bersaing dengan mainstream media yang juga sedang ramai-ramainnya membahas masalah tersebut. Tetapi tenang saja, tema post kali juga masih berkisar pada masalah tersebut koq, malahan saya pikir bila tidak hati-hati bahaya yang dikandungnya dapat lebih menyesatkan karena posisinya yang berada pada "gray area" sehingga sikap tegas relatif lebih sulit untuk diambil. Dan pada post kali ini saya juga ingin menyampaikan kira-kira dimana saya peribadi menempatkan diri (mohon doanya semoga saya tidak patut diberi label HALAL).
"Ancaman" Ulil dan JIL? Tanggapi Serius, tapi Jangan Terlalu Serius
Oleh : Santi W.E. Soekanto (2003)
MESTINYA, hari Selasa, 14 Januari 2003, kota Bandung akan menjadi saksi sebuah peristiwa bersejarah: debat terbuak antara kativis terkenal Ulil Abshar Abdallah melawan ulama KH Athian Ali M Da'i. Temanya: berbagai perbedaan tajam antara keduanya mengenai pemahaman mereka tentang Islam.
Beberapa waktu sebelumnya, lewat Forum Ulama Ummat yang dipimpinnya, Athian mengeluarka fatwa tentang kedudukan pemikiran Ulil dan kawan-kawannya (yang menyebut diri mereka Jaringa Islam Liberal atau JIL) dalam syariah Islam. Fatwa ini dipicu artike Ulil di Harian Kompas, 18 Nopember 2002 yang membuat gerah sebagian masyarakat Islam di Indonesia. Fatwa itu menuntut adanya penyelidikan mengenai apa dan siapa di belakang gerakan Ulil. Lebih dari itu, karena sudah dikategorikan menghina dan menyesatkan aqidah, orang yang menyebarluaskan pemikiran itu terkena hukuman: mati.
Tetapi acara di hotel Savoy Homann itu tidak jadi panas. KH Athian Ali batal hadir. Ulil pun tak jadi dihukum mati.
Sebenarnya, apa perlunya diadakan debat yang panas di antara keduanya mengingat sudah betapa jelasnya tanda-tanda bahwa tokoh ini tidak bakalan pernah mengalah terhadap pendirian satu sama lain?
Yang lebih mereka perlukan sebenarnya sederhana saja: sebuah pertandingan sepakbola yang seru! Gerak badan sampai berkeringat, sekaligus mendinginkan kepala mereka. Pasti akan sangat menarik menyaksikan: Kesebelasan Liberal United berhadapan dengan Kesebelasan Fundamentalist All Stars. Ini bisa menjadi pertunjukan paling seru untuk segala usia. Yang hadir pasti lebih membludak daripada para menonton koser kelompok F4 asal Taiwan.
Kubu Liberalis akan diperkuat diantaranya oleh Ulil Abshar-Abdallah, Nurcholish Madjid, Saiful Mujani, Abdurrahman Wahid, Luthfi Assyaukanie, dan Azyumardi Azra. Salah satu kordinator supporter yang paling bersemangat di pinggir lapangan tentu saja Goenawan Mohamad.
Lawannya, membela gawang kubu Fundamentalis atau Literalis, sebut saja, Athian Ali, Dja'far Umar Thalib, Habib Rizieq Shihab, Agus Dwikarna (dengan izin khusus dari penjara Filipina) Irfan S Awwas, Adul Wahid Kudungga (bintang tamu dari Amsterdam) dan Muhammad Jazir ASP dari Yogyakarta (yang tahun lalu dengan bangga menyeru Muslim Indonesia, "Ayo kita mengaku teroris").
Kesebelasan Fundamentalis nampaknya akan lebih unggul, karena mereka punya Dja'far yang bertahun-tahun membangun stamina dengan berperang di Ambon; Habib Rizieq yang seminggu sekali berlatih menyerbu dan membubarkan tempat-tempat mesum dan judi serta melawan para preman. Siapa tahu Kesebelasan Fundamentalis akan berhasil pula membujuk pemain tangguh yang rajin berlatih sepakbola dan badminton, Hidayat Nur Wahid, untuk setidaknya duduk di bangku cadangan.
Tambah lagi, Kesebelasan Fundamentalis bisa bermain enak karena tidak harus direpotkan oleh kehadiran pemain yang suka ngeloyor dan bikin strategi sendiri seperti Abdurrahman Wahid. Atau pemain yang bakalan menghabiskan waktu untuk memikirkan "substansi" dari gerakan-gerakan bola sebelum benar-benar menendangnya, seperti Azyumadi.
Bayangkan orang-orang ini --yang sehari-harinya berdiri berhadapan-- saling bertukar kaos yang basah karena keringat di akhir pertandingan. Bayangkan kaum Liberallis --yang biasa menyebut lawannya "fasis berkedok muslim"-- menjabat tangan serta merangkul kaum Fundamentalis, yang biasa menyebut lawannya "sekuler berkedok Muslim".
Barankali ini hanya subah mimpi indah, karena pada kenyataannya tingkat ketegangan antara kedua kubu itu sudah sangat tinggi. Khususnya sesudah terbitnya artikel Ulil di Kompas tentang perlunya "menyegarkan pemikiran Islam" yang isinya lebih dari sekedar menyerang Islam kebanyakan.
KHA. Mustofa Bisri (tokoh Nahdlatul Ulama dan mertua Ulil) mengkritik keras artikel itu yang dianggapnya tidak didasari pikiran yang jernih. Sabaliknya, Goenawan Mohamad membela Ulil lewat kolom Catatan Pinggir di majalah mingguannya, Tempo. Goenawan menyamakan Ulil dengan Syeikh Siti Jenar yang karena ajaran-ajarannya lalu dihukum mati oleh Sultan Kudus (sebenarnya walisongo yang melakukannya) dalam sejarah Islam Indonesia. Ia bahkan secara khusus mendedikasikan kolomnya untuk Ulil.
Mengapa banyak niat umat Islam di Indonesia yang marah pada pikiran-pikiran Ulil? Karena mereka percaya Ulil dan Jarignan Islam Liberal sedang berusaha merusak, bahkan menghancurkan, apa-apa yang telah diterima secara luas sebagai Islam. Bagi mereka, Ulil dan kelompoknya mengajak orang untuk menjungkir-balikkan dasar-dasar keimanan Islam --termasuk konsep kebenaran dan keselamatan yang dibawa agama ini, kesucian dan keaslian kitab suci dan sumber hukum utama seperti hadists Nabi, serta tentang siapa yang disebut mu'min dan kafir.
Pada kenyataannya, sementara JIL menganggap para Muslim Literal (Fundamentalis) yang "meneror" orang lain, misalnya dalam hal hak-hak perempuan dan kesetaraan gender, Mustofa Bisri justru menyebut cara-cara yang dilakukan Ulil lewat artikelnya di Kompas sebagai teror terhadap apa yang oleh mayoritas Muslim Indonesia telah diterima sebagai Islam.
Sejarah Islam, betapapun, dipenuhi oleh suara-suara yang menyempal --sebagian mati sendiri pelan-pelan, sebagian lain mati mendadak. Pertanyaannya, apakah kemarahan terhadap Ulil itu memang perlu? Ya, hanya jika benar berbagai dugaan bahwa Ulil dan kawan-kawan didukung oleh kekuatan besar (dari dalam dan luar negeri) yang agendanya memecah-belah dan melemahkan umat Islam. Ya, kemarahan itu diperlukan hanya jika mereka berhasil memojokkan masyarakat Muslim yang tidak mendukung pikiran-pikiran kaum Liberalis untuk memilih "apakah Anda bersama kami atau bersama kaum fundamentalis". Disinilah dibutuhkan penyelidikan mendalam tentang Jaringan Islam Liberal sebagaimana yang dituntut Athian dan kawan-kawan.
Haruskan umat Islam kebanyakan khawatir Ulil akan merusak Islam? Bagi seorang Muslim, ia pasti yakin meskipun umat Islam bisa dibunuhi, Islam tak akan pernah bisa dihancurkan. Titik.
Bagaimana dengan kekhawatiran sebagian tokoh NU tentang penyebaran pikiran Islam Liberal (yang bisa ditandai dengan semakin besarnya pengaruh jaringan ini di beberapa media massa)?
Sebaliknya para tokoh NU mengatur agar Ulil menyampaikan khutbah di masjid, sebut saja di Jawa Timur, untuk menyatakan secara terbuka keyakinannya seperti yang selama ini di tulisnya di mana-mana, bahwa rok mini itu dibolehkan Islam selama itu sesuai dengan kepatutan publik dimana dan kapanpun. Bahwa jilbab hanya merupakan ajaran Islam lokal dimasyarakat Arab, sebagaimana halnya hukum rajam bagi para pezina yang sudah menikah.
Biarkan Ulil berceramah menyampaikan keyakinnya di majelis-majelis ta'lim dan pesantren bahwa perempuan Muslim boleh menikah dengan lelaki non-Muslim dan bahwa itu bukan zina. Bahwa larangan terhadap kawin beda agama sudah tidak relevan lagi, dan bahwa hukum-hukum Allah tentang masalah perdagangan, pernikahan, pemerintahan dan hukum bagi koruptor dan pencuri sudah tidak berlaku.
Dugaan saya jamaah salat Jumat dan majelis ta'lim akan segera mengusir Ulil; kalau tidak, maka para aktivis dakwah benar-benar harus mengkaji ulang seberapa efektif mereka selama ini dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyeru Islam.
Ulil dan JIL-nya harus ditanggapi serius, tepi jangan terlalu serius. Harus ditanggapi serius, karena petualangan intelektual mereka telah menciptakan sebuah jebakan berbahaya: seolah-olah jika tidak mendukung mereka otomatis seseorang akan tergolong fundamentalis. Dalam situasi internasional seperti sekaran ini, bagi Muslim yang masih awam, sebutan fundamentalis sungguh tidak mengenakkan.
Tetapi jangan pula ditanggapi terlalu serius, sampai harus seluruh ulama dan aktivis mangerahkan semua energi menghadapinya. Karena selain Ulil dan JIL-nya masih banyak persoalan umat Islam lainnya, seperit ledakan derita kemiskinan rakyat akibat naiknya harga-harga, jaringan korupsi yang semakin meraksasa, perjualan aset-aset negara dengan harga murah kepada perusahaan asing.
Juga persoalan yang pelik tentang mengapa hanya ribuan orang yang turun ke jalan memprotes harga-harga yang mencekik, sementara ada 35.000 penonton mendatangi konser F4 yang karcis VVIP-nya seharga Rp. 2 juta rupiah ? [].
Sumber:
Membedah Islam Liberal Memahami dan Menyikapi Manuver Islam Liberal di Indonesia
Hayo, halal-haram-halal-haram.. (baca lebih lanjut...)
Juga persoalan yang pelik tentang mengapa hanya ribuan orang yang turun ke jalan memprotes harga-harga yang mencekik, sementara ada 35.000 penonton mendatangi konser F4 yang karcis VVIP-nya seharga Rp. 2 juta rupiah
ReplyDelete--> Karena abis nonton F4 kita malah jadi seneng, paling sial juga cuma jadi bokek dan jadi kebayang2 gantengnya Ken Zhu.
--> Demo? PANAS AH! takut item!Biar aja jadi kerjaan anak2 BEM yang demen cari popularitas. *kabuuurr...*
Tapi nonton debat gituan?
Setelahnya, yang ada malah jadi bingung. JAdi berasa dituduh kafir. Heheheh....karena belum banyak orang2 yang malah terdorong untuk mengenali Islam lebih jauh. Orang2 sekeliling gw aja mikirnya: ah udahlah yang penting solat. Ini juga udah benerr. Daripada nanti ragu, belum tentu yang dua pihak itu salah satunya bener. Sigh!
*sumbangan pikiran dangkal dari si bodoh*