Pages

08 August 2007

Kotler, Kumis and Status Quo (Part 1)

Bagi para marketer ataupun yang sedang ingin menjadi salah satunya, nama Philip Kotler mungkin sudah tidak asing lagi di telinga. Salah satu buku karya beliau yang berjudul Marketing Management merupakan salah satu buku yang telah banyak dijadikan acuan perkuliahan dalam subjek pemasaran di berbagai belahan dunia. Pada saat ini buku tersebut telah mencapai edisi ke-12 walaupun untuk edisi terakhir dalam penyusunannya beliau bekerja sama dengan Kevin Lane Keller (kemungkinan besar karena faktor usia). Sebuah jumlah edisi yang sulit disaingi oleh buku-buku "sesaat" let's say Jakarta Undercover.

What Peter Drucker is to management, Philip Kotler is to marketing.
Atas berbagai kontribusinya dalam bidang pemasaran, pada saat ini Kotler merupakan salah satu tokoh yang sangat dihormati oleh komunitas marketer dunia. Father of Marketing adalah salah satu julukan yang ditujukan kepada beliau (mengingat gap umur dan keilmuan, saya sendiri lebih suka menyebut m'bah Kotler m'bah-nya marketing). Dan sebuah kehormatan bagi para marketer Indonesia karena Philip Kotler dijadualkan hadir live in person untuk menyampaikan insight serta berbagai konsep baru di dunia pemasaran pada sebuah seminar di Jakarta. Berdasarkan iklan pada salah satu majalah komunitas marketer Indonesia, seminar tersebut direncanakan akan terselenggara pada pada tanggal 8 Agustus 2007.

Suatu kebetulan yang patut disukuri atau malah disayangkan, ternyata bertepatan pada tanggal tersebut warga DKI Jakarta telah dijadualkan untuk mencoblos kertas suara guna menentukan pilihan gubernur berserta wakilnya untuk memimpin Jakarta ke depan. Biarlah masalah itu menjadi urusan panitia dan mungkin juga pesertanya yang telah memiliki tiket. Kemungkinan besar kejadian tersebut hanya suatu kebetulan saja dan tidak ada hubungannya sama sekali. Akan tetapi karena sudah kejadian mengapa tidak kita dihubung-hubungkan saja sekalian :p

Everyone is a marketer.

Marketing dan Pilkada

Seperti kutipan di atas setiap orang pada dasarnya adalah marketer, mungkin sebagian dari kita agak sedikit menemukan kesulitan dalam membedakan marketing (memasarkan) dan selling (menjual). Memang benar tujuan akhirnya adalah terjualnya baik itu barang maupun jasa atau malah "diri" Anda. Akan tetapi agar produk-produk tersebut dapat terjual seperti yang kita harapkan maka dibutuhkan suatu pendekatan, yaitu marketing.

Tidak berbeda dengan pilkada Jakarta, yang memggunakan pemilihan langsung berbasis suara terbanyak untuk menentukan pemenangnya. Setiap kandidat menjual "dirinya" (dengan dukungan partai tentunya). Masyarakat Jakarta berperan sebagai konsumen dengan berbekal "mata uang" hak suara yang dimilikinya. Dengan demikian sudah jelas sekarang, para kandidat harus berusaha memenuhi kebutuhan para konsumen agar laku terjual.
Saya membeli lubang, bukan bor.
Dalam pembahasan kali ini saya akan menggunakan salah satu kerangka dasar strategi marketing yang dipopulerkan oleh Philip Kotler yaitu Segmentation, Targeting, Positioning (STP) walaupun pada akhirnya semua bermuara pada Positioning (sebuah term yang dipopulerkan oleh Jack dan Trout). Dalam pembahasan kali ini, dikarenakan terbentur keterbatasan data yang saya miliki maka kemungkinan besar akan banyak ditemukan asumsi serta insight subjektif diri saya sendiri. Saya pun menyadari reputasi saya yang diragukan (dan mungkin ketika lulus nanti menyandang predikat sangat memuakkan) maka saya sarankan kepada Anda untuk tidak terlalu berharap banyak pada analisis kali ini, tapi satu hal yang ingin saya ingatkan, jangan sampai Anda menyesal karena tidak membaca post-berseri ini sampai episode terakhir :D.

Segmentation

Kita mulai dengan memilah-milah, penduduk Jakarta sebagai target pasar. Mungkin untuk pilkada segmentasi demografis (umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, penghasilan) sudah cukup memadai. Konon kabarnya pada saat ini penduduk Jakarta diperkirakan 7 juta jiwa, apakah semua itu target? tentu bukan, kita harus mengingat berapa orang yang telah memiliki hak suara (17 tahun keatas atau sudah menikah), berapa orang yang Gol-Put (tidak bersedia membelanjakan "mata uang" suaranya) dan berapa orang yang kehilangan ingatan (Jakarta keras bung !!). Semua data tersebut dapat diperoleh diantaranya melalui ke BPS, LSM, RSJ dan survei tentunya, seperti yang pernah dilakukan oleh salah satu kubu kandidat cagub-cawagub "Mega Survei Saatnya Mendengar" mungkin sudah terdengar sejak akhir tahun lalu. Dengan mengetahui gambaran kasar tersebut maka para tim sukses dapat memperkirakan sebenarnya berapa banyak potensi pasar yang mungkin tercapi.

Selanjutnya mancari tahu kebutuhan warga Jakarta sebenarnya, apakah gubernur yang berkumis, guanteng, murah senyum, jujur, bertanggungjawab, sayang istri atau yang bagaimana. Bila memiliki kesempatan dan mengerti arti penting survei tim sukses dari masing-masing kubu sebaiknya melakukan survei. Selain untuk mengumpulkan data demografis seperti yang telah disebutkan sebelumnya, survei juga dapat menjawab semua pertanyaan tersebut di atas. Dengna demikian faktor-faktor yang mendasari pilihan para konsumen dapat teridentifikasi dengan baik.

Kembali ke segmentasi. Bisa telah terkumpul berbagai data tentang warga Jakarta, maka saatnya untuk memilah-milah kedalam beberapa segmen dan kemudian dihubungkan dengan faktor yang mendasari pemilihannya. Kemungkinan besar yang termasuk segmen potensial dalam pilkada DKI antara lain yaitu partai politik, kalangan LSM, mahasiswa, kaum wanita, pamong praja (Pemda DKI hingga ke tingkat Kelurahan), kalangan dunia usaha, ormas pemuda/mahasiswa/kesukuan hingga ke tingkat akar rumput (RT/RW).
to be continued...

Related post:
Kotler, Kumis and Status Quo (Part 2)
Kotler, Kumis and Status Quo (Part 3)

No comments:

Post a Comment

Intense Debate Comments