Pages

08 August 2007

Kotler, Kumis and Status Quo (Part 3)

Positioning pada intinya merupakan kesimpulan dari proses segmentation dan targeting. Di lain pihak positioning merupakan pedoman dari berbagai taktik marketing yang akan dilakukan (biasanya disebut 4P, tapi tetap saja ada yang merasa belum cukup :p). Dalam studi kasus pilkada, untuk mengetahui positioning masing-masing calon sepertinya lebih mudah bila mengacu pada tag-line, iklan (advertisement) yang berusaha mem-promosikan (salah satu dari 4P) positioning cagub-cawagubnya.

Seperti biasa kita mulai dari nomor urut satu
  • Tag-line Ayo Benahi Jakarta. Sudah lama terdengar mungkin sejak tiga sampai dengan empat bulan lalu. Pesan yang ingin disampaikan cukup gamblang yaitu menawarkan solusi, mengajak untuk melakukan perubahan di Jakarta agar lebih rapih. Selain itu ada beberapa kata ataupun frase yang dapat dikatakan adalah milik kubu ini antara lain "Jakarta Salah Urus", Jakarta MAS (Modern, Aman, Sejahtera), Jawara Nggak Maen Keroyok, dll.
  • Poster dari kubu ini kerap kali mengangkat permasalahan di Jakarta "Bosen Macet?", "Susah Cari Kerja?" dan lain sebagainya, sepertinya disusun berdasarkan survei yang pernah dilakukan, selain itu juga dalam upaya menohok status quo. (Dan satu hal lagi, penempelan poster ini sangat mengingatkan saya pada gaya kampanye kampus :p)
  • Spanduk, media ini lebih seru. Selain pesan-pesan standard dari tim sukses inti, sepertinya organisasi-oraganisasi underbow yang bersangkutan ikut andil dalam meramaikan "perang" spanduk. Entah terkoordinasi atau tidak beberapa spanduk terkesan tricky mungkin karena darah muda, penuh kreativitas yang mengalir dikepala si pemilik ide. Akan tetapi bila tidak hati-hati dapat menjadi blunder bagi positioning kandidat yang diusungnya. Berhubung kakak saya, bekerja di salah satu lembaga pengkajian politik (ngaji yak koq politik he...eh...) serta bertindak sebagai pengawas pilkada kali ini, maka saya mendapat beberapa foto yang merekam beberapa spanduk "nakal" tersebut.
  • TVC agak ragu C-nya untuk campaign atau commercial tersarah Anda saja lah :D Untuk Adang-Dani iklan-iklan di TV saya nilai sangat mendukung positioning intinya yaitu sebagai cagub-cawagub yang peduli rakyat bawah (grassroots). Dengan mengangkat berbagai masalah yang ada seperti ikut berendam dalam banjir, mendatangi warga ekonomi lemah di tempat-tempat aktivitasnya, menggandeng keluarga bajuri (minus oneng, eh ucup ada nggak?) yang melambangkan warga jakarta kelas bawah. Tampilan iklan yang lebih mirip imbauan untuk membantu bencana alam ditambah copywriting yang menyentuh sekali lagi sangat sesuai dan konsisten dengan tema positioning secara umum.
  • Even yang diselenggarakan cukup beragam dari kampanye konvensional dengan dukungan beberapa artis, debat calon sampai dengan kontrak politik. Bila diperhatikan artis yang mendukung Adang-Dani terlihat cukup solid dan beberapa diantaranya mengaku tidak dibayar untuk melakukan hal tersebut. Untuk debat calon, kandidat nomor satu ini sempat beberapa kali menghadiri acara tersebut tetapi karena rivalnya tidak hadir maka tidak jadi dan akhirnya ya yang di TV itu.
Kita lanjutkan dengan nomor urut dua
  • Tag-line Jakarta Untuk Semua, hem... ini keluarnya agak belakangan bisa dimaklumi ketika kubu rival telah mantap karena hanya diusung oleh satu partai, kubu nomor urut dua ini harus berusaha keras melobi sana-sini dan akhirnya 20 partai. Pesannya jelas ya... emm... jelas bagi-bagi kekuasaan bagi partai yang ikut berkoalisi. Selain itu kubu ini juga "memiliki" beberapa kata dan frase antara lain yaitu ahlinya, paling paham, berpengalaman dan kumis (geblek!)
  • Urusan poster sepertinya kubu ini juga agak tertinggal, entah terbelit birokrasi atau tidak terlatih dalam bergrilya menempel poster bak siluman kampus. Sedangkan isi dari poster-poster tersebut hanya tag-line umum dan bila keluaran partai pendukung warnanya pun beragam. Berbicara soal warna sebenarnya kubu rival telah "mengklaim" warna oranye sejak awal sebagai warna-identitas, mungkin jarena pusing dan takut dituduh berat sebelah bila menggunakan warna salah satu partai pendukung, akhirnya kubu nomor dua ini mangikuti warna-identitas rivalnya.
  • Spanduk, sepertinya karena spanduk-spanduk keluaran partailah yang menyebabkan tibulnya ide kreatif kubu rival untuk membuat spanduk "nakal". Positionin-pun menjadi kabur karena setiap partai juga ingin menonjol dan sepertinya kurang terorganisir.
  • TVC pendekatan lama, agak sulit dibedakan dengan iklan mi instan tapi yang jelas Gita Gutawa memang pandai bernyanyi sedangkan kandidat cagub agak diragukan kepiawaiannya dalam hal olah suara. Sangat jelas menjual mimpinya (nggak tega nyebut boong) terlalu banyak rekayasa gambar, kenapa tidak sekalian membuat kumis tersangkut di atap rumah, pohon, atau terbawa puting beliung. Untuk yang satu ini saya amat muak karena merasa dianggap bodoh sebagai warga Jakarta. "COBLOS KUMISNYA" dinyanyikan berulang ulang dengan irama lagu ulang-tahun. Saya pun merasa tidak heran ketika Mayang mengalami kejadian ini karena sepertinya memang anak-anak ataupun yang berjiwa serupa yang di sasar, WE HATE GIMMICK.
  • Even yang diselenggarakan terkesan sangat konvensinal, memajang penyanyi (dangdut nan seksi) bak neon di gelampnya malam mengundang "serangga-serangga" yang tidak mengerti apa-apa untuk datang mendekat dan meramaikan suasana. Kontrak politik dengan organisasi-organisasi yang ujug-ujug muncul tidak jelas asal-usulnya. Debat kandidat, sebisa mungkin dihindari.
  • Early morning attack, sabotage... SUCKS!!
Saat mengerjakan bagian akhir tulisan ini perhitungan cepat(-cepatan) dari berbagai lembaga sudah keluar hasilnya nomor urut dua dinyatakan lebih unggul hampir pada setiap perhitungan cepat yang dilakukan dengan proporsi 40-60. Mungkin memang ini nasib Jakarta masih banyak yang perlu dipersiapkan untuk mengadakan perubahan. Yang terjadi terjadilah persiapkan esok lusa yang lebih baik, tapi perlu diingat siapa dibalik 40 dan siapa-siapa saja dibalik 60.
It is no longer enough to be smart -- all the technological tools in the world add meaning and value only if they enhance our core values, the deepest part of our heart. Acquiring knowledge is no guarantee of practical, useful application. Wisdom implies a mature integration of appropriate knowledge, a seasoned ability to filter the inessential from the essential.
Doc Childre and Deborah Rozman
Strategi bukanlah puncaknya, ada sesuatu di atas strategi, sesuatu yang menuntun pemilihan strategi. Ya benar filosofi dan kearifan, berbicara tentang kearifan berbicara tentang hati nurani.

Related post:
Kotler, Kumis and Status Quo (Part 1)
Kotler, Kumis and Status Quo (Part 2)

No comments:

Post a Comment

Intense Debate Comments